Tentang Anak-Anak
Akhir-akhir ini aku dihadapkan antara realita, drama, dan ekspetasi. Ketiganya ini merujuk pada anak-anak, melalui mata bagaimana aku melihat secara langsung bagaimana pola anak-anak dan juga secara tidak langsung melalui sebuah drama yang aku lihat dan dengar serta ekspetasi pikiraku semata. Sekali lagi, semua hal yang aku alami akhir-akhir ini merujuk pada anak-anak hingga menghasilkan sebuah perenungan singkat.
Pertama, aku melihat anak-anak yang berlari kesana kemari dengan teman sebayanya membawa keranjang berisi burung. Waktu itu aku dan dia sama-sama sedang membeli jajan, kupandangi dia hingga ia berlalu. Yang aku pikirkan, kemana orang tuanya? Anak-anak yang seharusnya beristirahat sepulang sekolah, tapi malah keluyuran dijalan. Menjadikannya dia gosong terbakar sinar matahari. Sebenarnya disini yang salah orang tua atau anak itu memang bandel? Aku rasa kembali pada orang tua (menurut opiniku). Yang ku perhatikan, anak-anak itu diberi uang saku. Ia mampu membeli mainan yang ia senangi dan juga jajan yang mereka inginkan sedari dini, seolah olah sang orang tua telah mengenalkan mereka pada dunawi, apakah kemudian orang tua itu akan berfikir kelak sang anak akan ada masa dimana ia tidak lagi dapat meminta pada mereka? Coba mari kita pikir.. apabila sehari sang anak itu diberi uang saku sebesar 5.000 rupiah, apabila dikalkulasikan, satu bulan bisa terkumpul 150.000 rupiah, angka yang lumayan bukan apabila di investasikan pada pendidikan? Mengapa harus dibiarkan kelayapan tanpa masa depan (?) Dan aku yakin apabila dilakuka survei, ada banyak sekali alasan mengapa para orang tua membiarkan anak mereka berada dijalanan, membiarkan anak mereka dimarahi orang, menuntut ketika anak mereka terluka atau bahkan ada yang membiarkannya.
sumber : Google |
Kedua, Aku melihat anak-anak yang setiap jalannya mereka memandang kebawah sambil asyik membawa gadget masing-masing. Jangan ditanya berapa uang saku mereka sehari, yang pasti mereka diusia yang sama dengan anak-anak yang aku lihat dijalanan itu dapat memesan dan juga membayar orang lain untuk memenuhi kebutuhannya yang pastinya tidak sedikit nominal jumlahnya. 187.000 rupiah untuk harga satu pizza, fantastis. Berapa uang saku mereka? Kemana orang tua mereka? Sudah pasti mereka dari kalangan borjuis. Mereka dapat membeli apa saja dengan kekuasaan, relasi, dan harta yang mereka miliki. Berbeda dengan anak jalanan yang ada kemungkinan mereka terluka atau nantinya dimarahi orang lain karna ulah mereka, anak-anak borjuis cenderung lebih individual dan tertutup, sehingga siapa yang akan memarahi mereka? Mungkin saja keluarganya-- tapi sampai sebrapa sih marahnya dan akan mengena? Toh uang akan terus mengalir dikantong mereka.
sumber: google |
Dari kedua contoh anak yang aku perhatikan akhir-akhir ini memiliki kecenderungan yang sama nantinya kelak mereka dewasa. Pertama jelas konsumtif dan manja serta pola perilaku mereka juga akan terbawa oleh lingkungan, yang satu bisa saja urakan dan menjadi nakal hingga terjerumus pada kejahatan dan yang kedua bisa juga terjerumus pada kasus kejahatan namun lebih individual, anti sosial dan bisa berakibat pada hal yang negatif sesuai dengan porsi dan daya serap mereka masing-masing. Untuk mandiri, aku rasa mereka dapat mandiri (makan tidur sendiri :v ) sudah jelas mereka akan terus bergantung pada orang tua, meminta. Hingga mereka pada akhirnya akan sadar.
--------------------- cerita singkat tentang pendapatkan mengenai anak-anak ---------------------
Aku tidak pernah menyukai anak-anak, bagiku anak-anak hanya menyulitkan orang tua saja. Apabila kelak aku memiliki anak maka hidupku tidak akan bahagia. Definisi serta pemahaman yang aku miliki tentang anak-anak ini aku dapatkan karna aku memiliki background orang tua yang selalu mengeluh dan merasa tersiksa karena memiliki anak, sehingga membuatku menyesal dilahirkan ke dunia ini serta membuatku benci dengan anak-anak. Namun setelah aku menyadari pemikiran hal ini, aku pun menjadi berubah. Pandanganku tentang anak-anak tak lagi sama seperti dulu, justru aku malah kasihan.
Apabila Tuhan memberikan Anda anak, berarti Tuhan mempercayakan Anda mampu untuk mendidik, merawat, dan juga membiayai mereka hingga mereka dewasa dan lepas untuk berumah tangga. Tapi tak jarang ku dengar selalu para orangtua mengeluh akan kehadiran mereka, terutama apabila mendapati pasangan yang tak sesuai dengan keinginan mereka. Hmmm, sampai hari ini hati kecilku tidak pernah menerima keegoisan para orang tua yang memiliki untuk berpisah tanpa memikirkan perasaan anak mereka apabila mengetahui bagaimana kondisi orang tua mereka. Yang bersatu saja sudah bikin stress, bagaimana dengan yang berpisah? Akan jadi apa mereka nantinya? Balik tentang kasihan, aku jadi kasihan pada mereka. Pasti mereka adalah buah-buah dari ketidakpedulian orangtua pada anak, buah dari keegoisan orang dewasa, dan buah dari ketidaksiapan baik mental maupun materi orangtua mereka.
Aku suka gemas pada mereka yang menikah tanpa berpikir panjang, pada mereka yang menginginkan kenikmatan saja. pada mereka yang egois! Kemudian lahirlah bayi kecil di dunia ini, ketika mereka tak siap atau sedang kewalahan, kemudian mereka memutuskan untuk menitipkan anak mereka pada orangtua. Aihhh sudah berumah tangga tapi tak juga dewasa, justru merepotkan orang lain demi kepentingan diri sediri, masih bagus mereka yang menyewa orang lain kemudian mereka tinggalkan untuk bekerja, tapi jangan lupa untuk memperhatikan jugalah. Namun apabila telah memutuskan untuk tinggal bersama dan tetap membuat orangtua repot, ku rasa ini tak baik.
Semakin kesini aku semakin membeci pernikahan. Buat apa mereka menikah? Diluar sana masih banyak anak-anak yang terlantar. Masih banyak anak yang membutuhkan kasih sayang, masih banyak anak-anak yang ditinggalkan? Mengapa mereka memutuskan untuk menikah dan kemudian memiliki anak? Tidakkah mereka memikirkan berapa banyak anak yang terlantar didunia ini? Bagaimana masa depan mereka kalau kita terus saja menambah dan menambah tanpa mau merawat dan juga mendidik?
Ku pikir pemikiran ini hanya dari pikiranku saja, namun ternyata diluar sana ada juga yang berpikiran sama. Aku melihat dan mendengarnya dari sebuah drama yang mana menceritakan tentang sang suami yang belum mau memiliki anak, hanya ingin tinggal berdua saja. Alasannya? Jelas. Apabila belum siap, buat apa kita harus menikah dan juga memiliki anak? Apakah dengan menikah saja sudah dikategorikan sebagai siap untuk menjadi orangtua sedangkan kita dianggap ibu atau bapak saja tidak mau(?)miris. Sama halnya dengan diriku yang selalu ingin cepat dewasa (bertambah usia) namun masih ingin dianggap anak-anak,bukan hal yang baik juga.
Melalui perenungan ini, aku kembali lagi pada pemikiranku yang awal. Aku tidak ingin memiliki anak, aku hanya ingin merawat atau mengangkat anak saja dari pada aku harus menghasilkan kemudian kelak aku telantarkan. Buat apa? EGOIS. Hubungan seksual bisa kok tidak menjadi hal yang utama karna itu semua hanya nafsu dan nafsu bisa kita kontrol. Sempat diriku terlibat percakapan tentang ini dan pasangan, sempat antusian namun kemudian aku sadar, mungkin saja aku menginginkan tapi tidak untuk sekarang atau entahlah (?). Tuhan memang telah berencana, tapi manusia bisa memilih bukan? Boleh kah manusia memiliki komitmen dan prinsip? Apabila kelak pasanganku tidak dapat menerima hal ini, maka keputusan untuk berjalan sendiri mungkin lebih baik. Yang aku pikirkan, buat apa kita menuruti keegoisan kita sendiri untuk berproduksi seperti pabrik, tanpa kita memikirkan hari esok, apakah kita sudah siap, mampu, dan sanggup untuk menjadi alat dari Tuhan membesarkan, mendidik, dan merawat mereka dalam Tuhan (?)
Maaf apabila artikel kali ini ada salah kata :D. Sudah lama rasanya ingin aku menulis sesuatu dan kok pas ada saja bahan yang dapat ku jadikan sebuah perenungan dan tulisan.
Sekian dahulu postinganku kali ini..
0 Response to "Tentang Anak-Anak"
Post a Comment
Harap Komentar Dengan Sopan dan Tidak Mengandung SARA atau SPAM
Untuk pasang Iklan contact stefanikristina@gmail.com