Haruskah Aku Terus Mengemis Pada Mereka Yang Berpunya?
Aku
tinggal di pusat kota, dekat dengan kebisingan, dekat dengan keramaian, tak
jauh dari kaum sosialita, tak lepas dari teknologi. Namun aku terlahir
biasa-biasa saja dan tumbuh dewasa juga dengan rupa yang biasa-biasa saja. Tak
ada yang menarik dari ku, jadi bila ada yang penasaran denganku, lebih baik tak
perlu, hanya membuang-buang waktu saja.
Beberapa
hari yang lalu ku berjumpa dengan seorang teman. Teman semasa masih bocah.
Ternyata ia tak jauh beda rupanya denganku. Wajahnya tak banyak berubah selain
hanya semakin terlihat bersih, penampilannya juga tak banyak berubah selain ia
kini lebih bergaya, rambutnya masih sama seperti yang dahulu, gayanya bicara
juga masih sama. Menurutku ia tak banyak berubah, ia masih teman ku yang lama.
Kalau
dulu kami sering bersama, kini kami tak lagi sering bersama. Kalau dulu kami
sering berjumpa, kini kami tak lagi sering berjumpa. Waktu kami habis termakan
dengan segala rutinitas yang memuakkan dan juga kesibukan lainnya.
Masing-masing
dari kami ingin mengejar sesuatu. Aku yang ingin mengejar segala cita-cita dan
juga impianku, sedangkan dia juga mengejar hal yang sama dengan ku, namun kami
memiliki langkah dan juga jalan yang berbeda.
Sedari
dulu pola pikir kami telah berbeda. Bila aku ke kanan, maka ia ke kiri. Kami
tak pernah sejalan. Seleraku dalam memandang seseorang juga tak sama dengannya,
namun kami masih bisa bersama meski selisih paham kerap terjadi.
Bertengkar?
Sering kami jalani, namun jarang kami membiarkannya berlarut terlalu lama. Aku
tahu ia adalah temanku yang super-duper gengsi. Harga dirinya terlalu tinggi
untuk teman namun bila dengan lelaki, sikapnya berubah bak kapas
.
Ah,,
rupanya kami sudah sama-sama tua. Dulu kami saling mengenal ketika usia kami
belum juga mencapai angka 16. Kami selisih satu tahun, ia lebih tua satu tahun
dariku, namun ia sulit sekali mengalah. Terlalu gede rasa dan juga gengsi,
apalagi untuk mengucapkan kata maaf, sulit sekali ia mengeluarkannya.
Mungkin
memang benar, kedewasaan itu bukan diukur dari seberapa tua umur mu namun kita
dapat mengukur kedewasaan itu dari seberapa jauh kamu berfikir dan bertindak
dalam mengatasi suatu masalah. Umur boleh muda, namun jangan sepelekan masalah
mengenai kedewasaan. Ada saatnya kamu tahu bahwa taka da satu pun yang dapat
mengalahkan sebuah kedewasaan.
Kembali
pada perjumpaanku dengannya, kami membahas beberapa topik. Ada topic mengenai
beberapa kawan kami yang telah menikah atau melanjutkan studi, kemudian
pekerjaan, masa sekolah dahulu, mantan, hingga kehidupan kami masing-masing.
Rupanya ia tak jauh beda denganku. Mungkin beginilah nasib para lulusan tamatan
Sekolah Menengah Atas yang tak memiliki keterampilan atau bahkan kemampuan
apa-apa. Lulusan dengan nilai sederhana dan ditambah peluang pekerjaan yang
sedikit dan persaingan yang cukup ketat. Kami bisa apa bila jalan sempit namun
penuh sesak orang ingin melewatinya? Tentu kami harus mengalah untuk menjadi
pribadi yang baik dan berbudi. Namun sampai kapan kami akan terus mengalah?
Apakah sampai jalan tersebut rusak dan kemudian kami tak lagi bisa melewati
jalan tersebut? Atau kah kami harus menunggu welas asih dari tangan-tangan
ornag-orang yang berada diatas atau didepan kami? Ataukan kami perlu meminta
pada sang penderma agar kami dapat masuk?
Ah
ya, kemudian ia teringat akan seseorang. Seseorang yang begitu berarti dalam
kehidupannya. Orang tersebut cukup baik dan juga pengertian terhadapnya dan
juga keluarga. Segala yang ia inginkan dahulu dapat dipenuhi oleh orang
tersebut. Namun tetap saja, bagaimana pun baiknya seseorang rupanya semuanya
memiliki sebuah maksud tertentu tanpa kita bisa menduganya. Siapa sangka bila
semua yang misal telah diberikan kepada kita dianggap oleh orang tersebut
sebagai suatu sumbangan atau derma? Betapa sakit ketika kita mengetahui ia
menganggap dirinya telah lama menderma? Ketika ku mendengar mengenai kisah
tersebut hatiku juga terpukul, terbayang bagaimana bila ketika aku pacaran
nanti lalu kumiliki pacar atau kekasih yang demikian. Mungkinkah perasaanku
akan sekuat baja untuk menghadapinya? Apakah mentalku tak akan berubah menjadi
mental tempe ketika ku tahu selama ini pacarku hanya menderma padaku?
Mungkinkah aku tak akan di baying-bayangi akan hutang yang menggunung?
Bila
sampai saat ini aku masih seperti ini karena aku takut. Aku bukanlah dari orang
yang berada. Adakah orang yang mau menerima ku apa adanya tanpa memikirkan
materi atau apa yang aku punya? Adakah orang yang menerima seseorang karena
hanya melihat hati saja bukan melihat fisik dan lain sebagainya? Adakah orang
yang tak menuntut?
Ahhh…
rasanya semua itu hanya ada dalam kisah-kisah novel romantika saja. Pacar yang
penuh perhatian, romantis, penyayang, sabar, loman, dan masih banyak sifat
lainnya yang begitu baik. Mungkinkah?
Pembicaraan
kami pun berlalu pada beberapa topic lainnya. Ia bertanya kapan aku akan
mengiriminya sebuah undangan? Aku tertawa geli mendengarnya. Bukankah yang
hingga kini telah menjalin hubungan adalah dia bukan aku? Mana ku punya calon
kalau gandengan saja susah untuk ku dapatkan. Apa mungkin ada orang yang mau
dengan wajah pas-pasanku? Aku juga bukan anak dari orang kaya. Pernah ku
dapatkan seseorang berkata sekaligus bertanya padaku, “ Aku bisa ngajeni sesuai dengan adat pada umumnya,
namun apa yang kamu punya? “ Ia bertanya padaku meski kala itu ia tengah
terbawa emosi, aku juga memaklumi, namun pertanyaan itu telah menohok dalam
hatiku, menghempaskan tubuhku jauh kedalam suatu lubang yang tak lagi aku
ketahui. Disitulah baru mataku terbuka “ Apa yang aku punya? “ Harta duniawi
sepeserpun tak ku miliki, untuk makan sehari-hari saja begitu susah, apalagi
untuk ku tabung dan ku wujudkan pada sebuah barang agar dunia tahu bahwa aku
memang berada dan memiliki sesuatu. Rasanya itu sulit untuk ku masukkan dalam
logikaku. Akhirnya aku menjadi manusia yang lebih minder dan tak percaya diri
seperti dahulu kala.
Aku
jadi bingung. Mungkinkah masih ada orang didunia ini yang tulus dalam mencintai
seseorang? Ku sapukan pandanganku ke sekitarku, ada sepasang kekasih yang
berjalan santai, terlintas dalam benakku, mungkinkah mereka saling mencintai,
menerima satu sama lain apaadanya, dan juga saling melengkapi? Masa kini banyak
orang yang memiliki case bahagia namun dalam hatinya begitu banyak goresan
serta sayatan yang tak kasat mata karena kita hanya seringkali memperhatikan
case seseorang saja.
Seusai
pertemuan kami, aku dan teman lamaku pergi dan kembali pada rutinitas kami
masing-masing sembari berjanji suatu saat diwaktu luang kami akan bertemu
kembali. Setelah itu aku pun berfikir, bila semua nasib orang menengah kebawah
semua sama dengan ku atau bahkan lebih menderita, lalu bagaimana nasib anak
cucu dan yang lainnya? Masih kah ada orang dari kalangan atas yang ingin
menengok barang sebentar saja kebawah dan menolong kami dengan ikhlas bukan
setengah hati dan menganggap kami sebagai penderma atau pengemis? Ataukah kami
yang harus mengemis-ngemis pada sebuah kebahagian dunia yang mungkin tak akan
pernah kami sentuh meski hanya 1 detik saja? Mungkin bila ingin sama kedudukan
dengan mereka yang jauh status sosialnya dari pada kami, kami harus mengemis
atau bahkan meminta-minta dan juga sujud pada mereka yang tinggi status sosial
serta berkantung tebal. Karena mereka yang berpunya begitu bangga menderma dan
kami sebagai orang yang kekurangan begitu hina dihadapan mereka karena materi
yang kami miliki. Terkadang aku bingung, dimana letak keadilan yang Tuhan
maksud? Sampai kapan aku harus membanting tulang dan dihina bahkan oleh orang
yang aku sayangi sekalipun? Apakah aku dan juga beberapa banyak orang lainnya
dari kalangan kebawah diharuskan selalu mengemis kebahagiaan dari mereka yang
berpunya? Apakah memang benar adanya ini adalah jalan kami?.
0 Response to "Haruskah Aku Terus Mengemis Pada Mereka Yang Berpunya?"
Post a Comment
Harap Komentar Dengan Sopan dan Tidak Mengandung SARA atau SPAM
Untuk pasang Iklan contact stefanikristina@gmail.com