Sandiwara Arjuna

Gelap, sunyi dan sepi dunia pun membisu. Tak ada lagi ruang dan tak ada lagi gerak. Aba yang mengumandang membuat hati tak lagi dapat bersua.  Tak ada lagi kata yang dapat mempersatukan. ego mengumandang dan batin pun berperang. Selesai? Tentu. Tuntas? Belum.

Rintikan hujan tak lagi menjadi sebuah kejutan, semua kini telah biasa karena memasuki datangnya musim hujan. Namun bagaimana bilamana hujan itu tak lagi ada dan berganti kemarau? Omong kosong bilamana semua tak lagi merupakan sandiwara.



Hidup ini adalah sebuah sandiwara, penyair pun tau akan hal ini. Bagaiamana dengan sebuah ranting? Tentu ia pun jauh lebih mengerti meskipun  ia tak lagi belum dewasa. Ranting masih kalah tinggi kedudukannya dengan pohon.. dan pohon masih kalah tinggi kedudukannya dengan akar Namun semua itu tak akan ada artinya bilamana tak ada tanah. Sekalipun tanah begitu berarti, namun ia tak lagi kalah tinggi posisinya dengan air. Bagaimana pun tanpa air ia tak akan bisa bertumbuh dan berkembang menjadi sebuah pohon yang dapat berdiri dengan kokoh.

Jari-jari ini tetap ingin melangkah meski dalam gelapnya malam. Jari-jari ini tetap ingin menghasilkan sebuah karya meski tak lagi ada orang yang menghiraukannya. Tak lagi perduli akan apa yang ada disekitar, waktu terus berjalan dan semua telah menanti serta dinanti.

Hadirnya sang Arjuna tak membuat air menjadi gentar tuk menghadapi setiap terpaan oleh angin maupun badai yang berhembus. Dunia tak lagi ingin tertawa bersama. Tak ada lagi pelukan hangat oleh mana kasih yang selalu hadir dalam gelak tawa dan canda riang. Mungkin ini lah yang merupakan balasan atas sebuah pengorbanan seorang kawan.  Namun apakah itu kawan? Tak lagi jari ini tahu akan kawan karena kawan dan kewan atau pun kawin begitu tipis dan sangat sulit dibedakan.

Hai malam.. gelap mu membawa ku semakin jauh dan masuk ke dalam.. Hai hujan, mengapa kau hadir hanya dalam sebuah sandiwara belaka? Hai dingin, mengapa kau rasuki setiap hati yang dahulu berkasih dan bersenda gurau bersama sang mentari? Hai kasih, mengapa hatimu kini keras bagaikan batu? Tak ingatkah kau pengorbanan akan jari-jari yang selalu ingin merangkulmu?

Kuteriakan suara ku mengumandang di langit angkasa, mana.. langit yang biru ? mana? Tak ku temui lagi langit yang biru. Semua kelam. Semakin ku berteriak semakin ku jatuh dan semakin dalam lagi ku terjun maka semakin jauh aku terperosok. Mungkinkah ini semua sebuah sandiwara?

Tak lagi jari ini ingin bersua. Biarlah badai berlalu meski telah menghancurkan dan menjadikan puing-puing setiap kertas yang kini usang. Tak lagi jari ini ingin bersenda gurau. Balasan yang terlalu panas dengan adanya setiap sandiwara yang hadir. 

Lelah dan letih bersatu, Membaur dalam sebuah kesimpulan. CUKUP. semua merupakan sebuah sandiwara. Tak ada lagi yang ingin bersua. telah lama mungkin semua ini ditahan. 

Bilamana terus ditahan mungkin sel-sel tahanan tak akan muat untuk menampung setiap pelaku sandiwara untuk beradu acting dalam dunia seni. Seni? Mungkin ini adalah seni bicara, anak cabang dari mana seni tari.. 

Tari. kurindu  gelak dan tawa mu ketika kasih meminta jari tuk datang berkeliling mencari sebuah penghiburan. Meski kasih hanya menemani dalam suatu kondisi. Namun terima kasih untuk kasih.. hadirmu dalam dunia ku membuatku tahu bahwa tak lagi ada tangan yang dapat dengan mudah merangkul atau pun menjambak hingga mencubit sang asa.

Hmm.. rindu ku rindu.. ku rindu bermain sandiwara, namun bukanlah ini sandiwara yang aku inginkan. Kini.. Ku hanya ingin sang Arjuna. jari-jari ini telah lelah dengan semua sandiwara ini, satu yang ia pinta.. datanglah Arjuna.. Ku tahu meski badai menerpa, binatang tak lagi ingin saling menegur dan kasih yang hanya ingin mengigit diri dalam kedinginan, ku tahu.. ada satu yang tak akan pernah tidur dan selalu melihat kemana jari-jari ini ingin melangkah.

Mungkin benar, jari tak memiliki bibir, kemana pun ia melangkah maka semua akan benar. Yang menjadi satu dalam asa akan selalu ada dalam asa. Dan yang menjadi dua dalam asa hanya akan menjadi aba.. 

Setitik warna hitam dalam gelas yang berisi air bening akan menjadi sebuah cela yang meluber. Sama halnya dengan asap.. Semua tak kan ada bilamana tak ada kompor dan api.. Semua yang bersatu menjadi satu maka akan dengan mudah hancur menerpa sebuah ranting yang kecil.

Arjuna.. jari ini memanggilmu.. 

Lelah sudah..

Dunia ini penuh dengan sandiwara. Tak lagi ada yang mengingat akan suatu titik kebaikan dan tak akan ada lagi kasih yang ingin menoleh meski hanya 1 detik saja. Ku tahu semua menjadi resah dan gundah dan aku pun.. ingin pergi, meninggalkan setiap gerak dan kotoran yang ada. Cukup lelah jari ini memikul beban sang kasih. Kasih yang dahulu dekat, kasih yang dahulu selalu bersama bercanda dan bergurau.. Kemana semua perginya hal itu? Kemana kasih yang selalu mengingat akan setiap kebaikan orang? Mungkin memang benar, jari tak lagi bertulang. 

Hai hujan.. pergilah bersama setiap sandiwara mu.. biarkan Arjunaku datang.. pergilah.. ku sedang menanti kabar baik. Ku tinggalkan setiap sandiwaramu. Cukup bagiku mengetahui seberapa besar keburukan seorang kasih dan cukup ku menanggung semua ini. Terlalu berat. Sungguh terlalu berat beban yang menindihiku. Inilah suatu balasan akan suatu pengorbanan jari yang tak lagi bertulang. Jari yang selalu merangkul dan melangkah.. Inilah.. Kemana perginya kasih? Entah.. mungkin ia telah hangus bagai kertas yang telah menjadi abu terbakar oleh kobaran api yang menjadikannya sebuah aba dan asa.

Kasih, meski tak lagi ku memiliki mu. Namun ku tahu sang Arjuna kan datang menjemputku. Terima kasih untuk semua balasan atas segenap pengorbanan ku ini yang tak lagi berarti bagimu. Ku tahu kasih ini mungkin hanya sebuah sandiwara. Namun aku memutuskan tuk pergi. Biarlah asa menjadi asa, dan aba menjadi aba.. Asa dan Aba..  

Arjuna.. Datanglah sebelum semua terlambat. Ku menunggu. Aku menunggu.. 

Arjuna.. Datanglah dengan tanpa hadirnya sandiwara. Ku menunggu mu tuk menggenggam setiap jari ini.. Temani aku dalam gelapnya malam.. Ku tahu.. Kau pasti hadir karena dirimu selalu hadir dalam setiap mimpiku..

Arjuna.. aku merindukan mu dan ku menunggumu...

Arjuna..

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Sandiwara Arjuna"

Post a Comment

Harap Komentar Dengan Sopan dan Tidak Mengandung SARA atau SPAM
Untuk pasang Iklan contact stefanikristina@gmail.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel