Aroma Rokok
Sabtu
malam minggu adalah hari yang paling ditunggu-tunggu oleh sebagian orang atau ¾
penduduk di bumi ini. Mengapa? Karena weekend tentu banyak kegiatan yang
menarik dan yang tak kalah menarik bagi pekerja yang libur di hari minggu
adalah mereka memiliki waktu istirahat yang cukup lama, contohnya seperti aku
ini.
Sepulang
kantor tak terbendung perasaan ini untuk segera pulang kerumah. Badan terasa
begitu pegal-pegal karena beberapa hari ini kurang istirahat. Sudah sejak 3
hari terakhir ini aku begadang. Akhirnya aku sampai dirumah. Segera ku memasuki
kamar ku tanpa memandang seluruh ruangan dirumah. Entah bagaimana kondisinya,
aku hanya berfokus satu hal yaitu , istirahat.
Tanpa
mandi dan hanya ganti baju saja aku langsung berbaring di kamarku. Hmmm enaknya
istirahat di ranjang sendiri..
30
menit berlalu, tidak terasa memang. Cukup cepat aku terlelap namun juga cukup
singkat aku terbangun. Suara gaduh itu kembali terdengar. Bunyi piring pecah
dan lain sebagainya beberapa kawan dapurpun
berkumandang. Aku yang terbangun merasa terganggu namun enggan untuk
keluar rumah. Ku sibakkan penutup jendela kamarku sedikit untuk mengintip apa
yang terjadi diluar. Ternyata masih adegan yang sama. Ku kuatkan iman ku untuk
tetap bertahan dikamar sembari ku tutup mukaku dengan bantal, untuk meredam suara.
Baru
juga 5 menit, tak kuasa aku mendengar semua ini. Ku ambil tasku kemudian ku
cari rokok yang aku simpan. Ku sulut satu batang rokok dengan korek ku sesegera
mungkin. Ku hisap, ku hembuskan, ku nikmati aromanya. Hmmm.. Lumayan
menenangkan pikiranku yang sedang kalut. Belum habis satu batang rupanya aku
sudah tenang. Kemudian aku merapikan kamarku, berganti pakaian, dan
bersiap-siap untuk keluar. Entah caci maki apa yang akan aku dapatkan nanti
yang pasti aku hanya ingin sesegera mungkin keluar dari kamar ini.
Setelah
siap semua, ku buka pintu kamarku, ku kunci kembali dan bergegas keluar. Meski aku
sudah terburu-buru, masih ku dengar cercaan itu, rupanya benar dugaanku
mengenai caci makian.
“ Oo, Lonte! Mari moleh metu maneh. Sik
kurang nang njobo awakmu? “ dan pranggg.. suara anggota dapur terlempar
mengenai lantai namun mengarah ke aku, tanpa menoleh lagi aku langsung pergi
keluar. Ku nyalakan motorku dan wushhh… byebye neraka.
Seperti
biasa, rupanya sudah tidak ada tempat lagi untuk ku istirahat. Ku hampiri rumah
salah seorang kawan. Kubicara padanya bahwa aku membutuhkan tempat tinggal, ia
pun menyetujuinya. Ku sapuka pandangan ku kesekitar rumahnya, bukan rumah yang
besar namun cukup nyaman. Sepertinya aku bisa bertahan disini selama beberapa
waktu , paling nggak sampai aku mendapatkan pekerjaan yang pasti.
2
hari aku menginap diluar, belum ada separuh bungkus rokok aku habiskan. Aku
memang bukan pecandu, namun ketika kepala pusing dan pikiran sedang kacau maka
aku akan berpaling pada rokok. Aku sendiri tidak berharap menjadi pecandu.
Harga rokok begitu mahal. Rokok murahan tentu berbahaya.
Setelah
beberapa peristiwa aku alami, baru kusadari betapa nikmat rokok ini. Dulu
mungkin aku belum memahaminya namun kini setelah aku mengetahuinya, setiap
kerumitan yang terjaid padaku maka aku akan berlari pada mereka,
nikotin-nikotin yang membunuh. Aku nggak perduli lagi bagaimana hidupku
nantinya. Hanya aroma rokoklah yang terus menjadi candu untukku.
Namun
semua ini membuat kawan ku terheran-heran. Pikiran kacau namun sudah 2 hari
setengah bungkuspun belum habis. Aku memang tidak terbiasa merokok seperti
orang umumnya. Rokok bagikan obat yang setelah makan harus merokok dan lain
sebagianya, aku bukan seperti itu.
Mungkin
ini alasannya mengapa sedari dahulu kekasihku begitu memintaku untuk tidak
menyentuh rokok sedikit pun. Didepannya tentu aku melaksanakannya aku pun
begitu juga dibelakangnya. Namun entah sejak kapan aku lalu kembali pada rokok.
Kembali mencoba-coba.
Apa
semua ini karena stress yang terlalu berat? Masalah begitu banyak, tak ada satu
pun yang bisa terselesaikan. Bila beberapa hari yang lalu aku masih memegang
janji manis, namun hari ini janji manis itu hanyalah sebuah kebimbangan. Tak
ada lagi aku tahu mana janji manis itu. Tak lagi ku kecap manisnya janji itu.
Semua telah menjadi basi. Tak berasa kembali. Manisnya telah berganti pahit.
Dan kini, aku tak memiliki orang yang bisa ku percaya lagi. Pikiran yang kacau
hanya bisa ku gantikan dengan sebatang rokok yang aromanya begitu memikat dan
menjerat ku dalam bayang-bayang manis. Bukan bukan manis, setidaknya memberikan
ku sedikit sentuhan pada rasa manis tersebut.
Jakarta,
1997
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete